BERUSAHA DAN MENERIMA KETETAPAN-NYA ADALAH IBADAH

Oleh : Ust Faisal Kunhi S.Ag M.A

إِنَّ الحَذَرَ لاَ يَدْفَعُ المَقْدُوْرَ

“Sesungguhnya kehati-hatian tidak dapat menolak apa yang sudah ditakdirkan.”

???? PENJELASAN:

  1. Kita dianjurkan untuk berhati-hati ketika dalam perjalanan, sebagai bentuk usaha, namun itu semua tidak menolak apa yang sudah Allah taqdirkan, dan percayalah semua yang Ia taqdirkan itu mengandung kebaikan dan hikmah.
  2. Musibah yang terjadi kepada seseorang, itu terjadi dengan restu-Nya dan apa yang Ia restukan pastinya mengandung kebaikan bagi mereka yang mau berfikir, Allah berfirman:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.’ (QS. At Taghobun: 11)

  1. Tidak ada musibah apapun yang menimpa seseorang (yaitu setiap sesuatu ditunjukkan kepadanya baik kebaikan maupun keburukan dan menimpa dirinya atau hartanya) tanpa sepengetahuan Allah, kehendak, takdir dan kuasa-Nya. Barangsiapa benar-benar beriman kepada Allah, maka hatinya akan ditunjukkan pada kebaikan, kesabaran, dan keridhaan atas musibah itu. Dia juga akan mengetahui bahwa sesungguhnya musibah itu dari Allah. Dan Allah adalah Dzat yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Tidak ada yang dapat tersembunyi dari-Nya, bahkan misteri-misteri dan keadaan hati. (Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah)
  2. Berusaha agar terhindar dari sesuatu yang buruk adalah ibadah dan ridha terhadap ketetapan-Nya walau itu pahit juga ibadah, maka seseorang yang sedang mendapatkan musibah akan mendapatkan dua pahala yang terdiri dari ganjaran usahanya untuk menyelamatkan dirinya dari sesuatu yang buruk dan ganjaran ketika ia tetap bisa mengucapkan “alhamdulilan” atas ketetapan-Nya, walau itu tidak sesuai dengan apa yang inginkan.
  3. Jika musibah sudah terjadi terimalah dengan hati yang lapang dan jangan berkata, “Seandainya saya tidak melakukan ini, maka musibah itu akan terjadi.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِـيْ كُـلٍّ خَـيْـرٌ ، اِحْـرِصْ عَـلَـى مَا يَـنْـفَـعُـكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَـعْجَـزْ ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَـيْءٌ فَـلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِـّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَـذَا ، وَلَـكِنْ قُلْ: قَـدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَـفْـتَـحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh daripada mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allâh (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah… Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, “Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini dan begitu.” Tetapi katakanlah, “Qadarullah wa ma sya-a fa’al” (hal ini telah ditakdirkan Allâh dan Allâh berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya). Karena ucapan “seandainya” akan membuka pintu perbuatan syaitan”.(HR. Muslim).

  1. Namun tidak semua ucapan “seandainya” itu terlarang, ada yang dibolehkan dan ada yang terlarang; berikut penjelasannya ;

a). Jika motif ucapan sebagai bentuk tidak menerima taldkir Allah, menyalahkan ketetapan-Nya dan berburuk sangka atas takdirnya, maka ini adalah terlarang.

b). Jika motif ucapan sebagai bentuk pembelajaran dan evaluasi agar kejadian tersebut tidak terjadi lagi maka itu adalah hal yang dibenarkan (Demikian jelas Syaikh Utsaimin dan Ibnu Taimiyah dalam fatwanya).

Leave a Reply