Karakteristik Fiqih Muamalah

Oleh: Muhammad Abdul Wahab Lc MA

Secara umum ilmu fiqih terbagi ke dalam dua bagian besar yaitu Fiqih Ibadah dan Fiqih Muamalah. Fiqih Ibadah mencakup pembahasan tentang ibadah-ibadah yang bersifat ritual seperti Thaharah, Shalat, Zakat, Haji dan Puasa.

Sementara Fiqih Muamalah dalam arti luas mencakup pembahasan mengenai hukum yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesama. Seperti Ahkam Iqtisodiyah, Ahkam Madaniyah, Hudud, Ahkam Dauliyah, munakahat dan lain-lain. Sedangkan dalam arti yang lebih spesifik muamalah adalah hukum-hukum syariah yang mengatur interaksi manusia dengan sesamanya dalam urusan harta.

Fiqih muamalah memiliki karakteristik yang unik yang sebagiannya menjadi pembeda dengan fiqih ibadah. Karakteristik tersebut antara lain:

1. Hukum Asalnya Halal dan Boleh

Dalam fiqih muamalah prinsipnya adalah segala sesuatu hukumnya boleh dan halal[1] kecuali jika ada dalil yang secara eksplisit melarangnya.[2]

Ini merupakan kebalikan dari prinsip hukum dalam fikih ibadah, di mana suatu ritual ibadah dianggap batal sampai ada dalil yang melegitimasinya.[3]

Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah:

فالأصل في العبادات البطلان حتى يقوم دليل على الأمر، والأصل في العقود والمعاملات الصحة حتى يقوم دليل على البطلان والتحريم. [4]

“Hukum asal dalam ibadah adalah batal sehingga ada dalil yang memerintahkannya, sedangkan hukum asal dalam akad dan muamalat adalah sah sehingga ada dalil yang menunjukkan akad itu batal dan haram.”

Karakteristik ini dilandasi dengan dalil berikut:

Pertama, firman Allah ﷻ dalam al-Quran surat Yunus ayat 59:

قُلْ أَرَءَيْتُم مَّآ أَنزَلَ ٱللَّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَامًا وَحَلَٰلًا قُلْ ءَآللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى ٱللَّهِ تَفْتَرُونَ

Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?”

Ayat ini diturunkan kepada orang-orang musyrik yang mengharamkan makanan dan bentuk muamalah yang dihalalkan oleh Allah ﷻ hanya karena mengikuti tradisi nenek moyang mereka.

Kedua, hadis Nabi berikut:

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ، إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا، وَالمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا[5]

Berdamai dengan sesama muslimin itu diperbolehkan kecuali perdamaian yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu yang halal. Dan kaum Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram. (H.R. Tirmidzi)

Hadis di atas menjelaskan bahwa syarat apapun boleh disepakati oleh kedua belah pihak dalam bertransaksi selama syarat-syarat yang disepakati itu tidak bertentangan dengan syariat.

Oleh karena itu ketika dihadapkan pada satu kasus muamalah kontemporer yang tidak ada petunjuk langsung baik dari al-Quran, Sunnah maupun ijtihad ulama terdahulu, kita harus memandang kasus tersebut dengan praduga halal dan boleh selama tidak ditemukan adanya indikasi unsur-unsur haram yang ada dalam transaksi tersebut.

Pertanyaan pertama yang dilontarkan bukan “adakah dalil yang membolehkan?” tetapi seharusnya “adakah dalil yang melarang?” sehingga kalau jawabannya tidak ada, maka kembali kepada hukum asalnya yaitu boleh.

2. Orientasi Illat dan Mashlahat

Fikih muamalat selalu memiliki alasan rasional yang melibatkan pertimbangan maslahat dan  mudarat bagi kehidupan manusia di balik setiap hukumnya. Berbeda dengan ibadah, di mana tata cara ritual ibadah tertentu tidak bisa dijangkau oleh nalar manusia.[6]

Kita tidak bisa bertanya kenapa shalat subuh harus dua rakaat, atau kenapa tayamum harus memakai tanah dan lain sebagainya. Allah ingin disembah dengan cara seperti itu, ya kita laksanakan sesuai yang diperintahkan tanpa harus mencari tahu alasan dibalik kewajiban tersebut.

Lain halnya dalam fikih muamalah. Dalam transaksi-transaksi yang dilarang dalam Islam, di balik setiap larangannya ada illat atau alasan hukum yang bisa ditakar dengan nalar manusia. Baik karena ada kemaslahatan yang ingin  dicapai atau kemudaratan yang ingin dihindari.

Seperti keharaman riba untuk menghindari adanya tindakan eksploitasi dari kreditur terhadap debitur[7], atau keharaman maisir (judi) untuk menghindari kemalasan kerja[8], keharaman gharar untuk merealisasikan prinsip saling rida (‘an taradhin) dalam jual beli dan menghindari unsur ketidakpastian (game of chance)[9] sehingga ada pihak yang merasa dirugikan[10] dan lain sebagainya.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah juga menandaskan bahwa penerapan hukum yang tidak dilandaskan pada prinsip keadilan, kemaslahatan, rahmat, dan hikmah maka sesungguhnya telah terjadi pemerkosaan takwil. Apa yang diterapkannya bukanlah substansi syariat tetapi dipaksakan diterapkan karena kedangkalan ilmu yang mereka miliki. Mereka dengan demikian terjerembab ke dalam lembah kesempitan karena kekeliruan yang dialami.[11]

Untuk itu, dalam mengkaji kasus-kasus kontemporer terkait dengan tema muamalah kita tidak bisa lepas dari pertimbangan maqashidus syariah sebagai substansi dari penetapan hukum. Bukan hanya berpatokan terhadap format akad yang diambil dari teks-teks syariah secara apa adanya dengan mengabaikan ‘illat hukum yang terkandung di dalamnya.

Panduan Nabi berkaitan dengan pertimbangan maslahat dalam muamalah salah satunya adalah ketika Nabi membolehkan jual-beli salam yaitu menjual belikan barang di mana ketika transaksi dilakukan, barangnya belum ada, hanya terjadi pembayaran dan penyebutan spesifikasi barang yang akan diserahkan dalam jangka waktu yang disepakati.

Hal ini pada dasarnya dilarang, sebab Nabi pernah melarang jual-beli barang yang belum dimiliki atau belum ada (لا تبع ما ليس عندك). Tetapi karena praktik itu sudah menjadi tradisi di Madinah di mana orang-orang mendapatkan kemudahan dengan transaksi itu, Nabi pun membolehkan dengan syarat spesifikasi barang dan waktu penyerahan sudah jelas.

Lebih jauh lagi Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa larangan Nabi untuk menjual barang yang belum dimiliki, pada saat itu ‘illat atau tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya perselisihan antara penjual dan pembeli. Sebab penjual tidak bisa menjamin barang itu bisa diserahkan di waktu yang dijanjikan kepada pembeli. Hal tersebut karena pasar di Madinah waktu itu memiliki stok barang yang terbatas dan akses ke pasar alternatif tidak mudah. Sehingga Nabi melarang jual-beli barang kecuali setelah barang itu benar-benar dimiliki oleh penjual.[12]

Kondisi seperti itu berbeda halnya dengan di masa sekarang di mana akses pasar sangat mudah apalagi jual-beli saat ini sudah bisa dilakukan secara online, tidak lagi ada batasan jarak antara penjual dan pembeli. Sehingga penjual yang menjual barang dengan sistem pre order di mana pada saat jual-beli barangnya belum ada, penjual tersebut bisa menjamin ketersediaan barang pada saat waktu penyerahan dengan kemudahan akses pasar seperti sekarang.

3. Banyak Dipengaruhi oleh ‘Urf (Adat/Tradisi)

Karakteristik lain fikih muamalah adalah keterkaitannya dengan ‘urf atau adat. ‘urf didefinisikan sebagai berikut:[13]

ما استقرَّت النفوسُ عليه بشهادة العقول وتَلَقَّتْه الطبائع السليمة بالقبول

Sesuatu yang menjadi kebiasaan banyak orang yang dapat diterima oleh akal dan kewajaran.

Sedangkan adat (العادة) definisinya adalah: [14]

ما استمر الناس عليه على حكم المعقول، وعادوا إليه مرة بعد أخرى.

Sesuatu yang dilakukan terus-menerus dan berulang-ulang oleh orang-orang dalam batas yang dapat diterima secara logis.

Fikih muamalah tidak bisa dilepaskan dari pertimbangan ‘urf dalam suatu tradisi pasar. Oleh sebab itu, fikih muamalah sangat mungkin berubah dengan perubahan tradisi orang-orang dalam bertransaksi di setiap tempat dan zaman.

Aturan main dalam bermuamalah di satu tempat bisa jadi berbeda dengan ketentuan yang berlaku di tempat lain. Karena kedua tempat itu memiliki tradisi pasar yang berbeda.

Contoh muamalah yang dipengaruhi oleh ‘urf di antaranya jual-beli salam dan istishna’. Kedua jenis transaksi ini dibolehkan oleh Nabi Muhammad ﷺ atas pertimbangan ‘urf. Walaupun pada dasarnya jual-beli tersebut bermasalah karena barang yang menjadi objek transaksinya belum ada.

Akan tetapi penduduk Madinah sudah terbiasa melakukan salam dan istishna’ sebelum Nabi hijrah ke sana. Kebiasaan itu dilakukan karena mereka mendapatkan keuntungan dan kemudahan. Sebab kalau mereka beli kurma pada saat panen harganya mahal. Untuk itu, mereka pesan setahun atau dua tahun sebelumnya dengan pembayaran di muka agar dapat harga lebih murah. Maka, ketika Nabi hijrah, Nabi membolehkan praktik tersebut dengan memberikan syarat dan ketentuan.

Contoh lain, ‘urf juga berperan dalam penentuan harga barang dalam jual-beli di mana penjual tidak menyebutkan harganya pada saat akad. Sehingga yang berlaku pada saat itu adalah harga sesuai ‘urf alias harga pasar. Penjual tidak boleh memberikan harga di atas harga pasar, jika pada saat transaksi dia tidak menyebutkan harga.

Misalnya ada orang beli kue dari tetangganya, ketika ditanya harganya berapa, tetangga itu malah bilang, ”Sudah, ambil saja dulu kuenya, urusan bayar gampang, besok saja.” Maka, tetangga itu tidak boleh mematok harga lebih mahal dari harga pasar, sebab di awal dia tidak menentukan harga.

Contoh lain, orang yang sewa rumah harus patuh terhadap ketentuan-ketentuan yang sudah menjadi tradisi di suatu tempat. Misalnya kalau di daerah A, harga sewa rumah biasanya sudah termasuk biaya air dan listrik. Kalau di tempat lain, listrik dan air bayar sendiri dan sebagainya.

Contoh yang lain adalah alat tukar. Alat tukar di masa Nabi adalah emas dan perak atau dinar dan dirham. Sehingga emas dan perak terkena kewajiban zakat dan dianggap sebagai harta ribawi yang cara pertukarannya dikenakan syarat-syarat tertentu.

Sedangkan di masa sekarang, emas dan perak sudah tidak lagi menjadi alat tukar. Sekarang orang menggunakan uang kertas untuk membeli barang. Sehingga zakat tidak hanya berlaku pada emas dan perak, tetapi juga kepada uang kertas. Sebab, fungsinya sama yaitu sebagai alat tukar. Begitu juga uang kertas termasuk harta ribawi, walaupun uang kertas tidak disebutkan dalam hadis sebagaimana emas dan perak.

4. Bersifat Dinamis

Karakteristik ini juga yang membedakan antara ibadah dan muamalah. Ibadah bersifat statis, tidak mengalami perubahan. Cara shalat kita sekarang sama dengan cara shalatnya nabi seribu empat ratus tahun yang lalu. Bahkan sampai hari kiamat shalat subuh tetap dua rakaat. Jumlah rakaat shalat tidak dipengaruhi oleh tingkat inflasi.

Begitu juga ibadah puasa. Sampai kiamat puasa wajib tetap di bulan Ramadhan tidak akan pindah ke bulan Muharram. Haji selamanya di Mekkah tidak akan pindah ke Monas. Zakat pun tetap 2,5 % tidak akan mengalami kenaikan sebagaimana pajak dan harga BBM.

Tetapi kalau kita bicara tentang muamalah, akan kita dapati banyak bentuk muamalah yang sekarang ada di keseharian kita, tapi tidak ada penjelasannya dalam al-Quran maupun hadis, sebab di zaman Nabi belum pernah ada. Di zaman Nabi tidak ada ojek online, tidak ada bank, tidak ada online shop, tidak ada asuransi, MLM, jual-beli saham, Trading Forex, E-Money, bitcoin dan lain-lain.

Untuk itu, hukum Islam terkait dengan muamalah akan selalu dinamis sebagaimana bentuk kegiatan ekonomi juga terus berkembang dari zaman ke zaman. Maka, kemudian para ulama menetapkan salah satu kaidah fiqih yang berbunyi:

لا ينكر تغير الأحكام بتغير الأزمان[15]

Tidak diingkari (oleh syara’) perubahan hukum yang disebabkan oleh perubahan zaman.

Terkait dengan bagaimana berijtihad dalam permasalahan muamalah yang selalu dinamis, Imam al-Qarafi, salah seorang ulama besar dalam mazhab Maliki mengatakan:

الجمود على المنقولات أبدا ضلال في الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضين[16]

Sikap jumud atau terpaku selamanya terhadap teks-teks syariah adalah kesesatan dalam agama dan ketidaktahuan terhadap maksud dari para ulama kaum muslimin dan generasi salaf terdahulu.

5. Porsi Ijtihad Lebih Dominan

Muamalah yang dinamis dan terus berkembang menuntut para ulama untuk banyak melakukan ijtihad. Sebab setelah Nabi Muhammad ﷺ wafat, tidak ada lagi wahyu yang turun. Tidak ada lagi ayat baru dalam al-Quran dan tidak ada lagi hadis baru.

Sedangkan kegiatan manusia dalam bermuamalah senantiasa berkembang dan memunculkan hal-hal baru yang tidak secara eksplisit dijelaskan hukumnya dalam Quran maupun hadis.

Tidak pernah ada riwayat yang mengatakan Nabi Muhammad ﷺ pernah melarang atau membolehkan menggunakan e-money. Tidak pernah juga ada riwayat yang menjelaskan aturan Nabi terkait dengan asuransi. Karena memang di zaman Nabi belum ada.

Oleh karena itu, porsi ijtihad dalam fiqih muamalah lebih dominan sebab teks syariah yang terbatas dan kasus-kasus muamalah yang selalu berkembang. Sebagaimana para ulama menyebutkan:

النُّصُوص مَعْدُودَة والحوادث غير محدودة[17]

“Nas-nas syariah terbatas sedangkan kasus-kasus baru tidak terbatas.”

Berbeda halnya dengan ibadah. Nabi Muhammad ﷺ sudah secara lengkap dan detail mengajarkan kita bagaimana tata cara shalat dari mulai takbiratul ihram sampai salam. Begitu juga kapan shalat itu dilaksanakan, apa yang membatalkan shalat, apa saja syara-syaratnya. Demikian juga ibadah-ibadah yang lain seperti puasa, zakat, haji, semua sudah disebutkan aturannya secara lengkap dan terperinci baik dalam al-Quran maupun sunnah. Sehingga porsi ijtihad dalam fiqih ibadah lebih sedikit daripada muamalah, sebab dalilnya sudah lengkap.

Namun, itu bukan berarti aturan Allah berkaitan dengan muamalah kurang lengkap. Justru di sini bentuk kemurahan Allah terhadap hamba-Nya. Allah tahu bahwa kehidupan manusia akan selalu berkembang. Sehingga Allah hanya memberikan petunjuk secara umum dan prinsip dasar dalam bermuamalah supaya manusia bisa berinovasi dan mengembangkan kehidupannya sesuai prinsip-prinsip dan nilai-nilai syariah.

6. Memiliki Dua Dimensi

Fiqih muamalah memiliki dua dimensi yaitu dimensi ukhrawi (diyanah) dan dimensi hukum duniawi (qadha).

Dimensi ukhrawi dalam muamalah artinya seseorang akan berdosa dan bertanggung jawab di hadapan Allah ﷻ di akhirat nanti ketika dia melakukan praktik muamalah yang tidak sesuai dengan prinsip syariah.

Dengan adanya sisi ukhrawi ini, seorang muslim yang beriman akan menghindari praktik-praktik terlarang dalam muamalah di kehidupan sehari-harinya tanpa harus menunggu adanya hukum yang mengatur itu di dunia.

Meskipun di Indonesia tidak ada undang-undang yang melarang praktik riba, seorang muslim akan tetap menghindari hal itu karena didorong oleh sisi ukhrawi dalam dirinya sebagai seorang hamba yang akan dipertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah kelak.

Di samping itu, muamalah juga memiliki dimensi hukum duniawi, yaitu konsekuensi yang harus dijalani secara hukum ketika melakukan pelanggaran atau hal-hal yang menyimpang dari prinsip syariah dalam bermuamalah.

Sisi diyanah dan qadha ini tidak harus selalu beriringan. Bisa jadi seseorang berdosa di hadapan Allah walaupun secara hukum di dunia tidak berdampak apa-apa. Contohnya, pada umumnya para ulama mengatakan bahwa wa’d atau janji dalam fiqih muamalah sifatnya ghair mulzim atau tidak mengikat. Artinya, ketika seseorang berjanji akan memberikan hadiah kepada temannya kemudian janji itu tidak dia tepati, maka dari sisi diyanah dia berdosa di hadapan Allah ﷻ karena telah ingkar janji. Tapi secara hukum di dunia atau qadha, temannya yang dijanjikan itu tidak bisa menuntut apa-apa, sebab janji yang dia ucapkan tidak mengikat secara hukum.


[1] Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri, Mukhtashar al-Fiqh al-Islami fi Dhau’ al-Quran wa as-Sunnah (t.tp: Dar Ashda’ al-Mujtama’, cet. XI, tahun 2010), h. 725

[2] Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri, Mausu’ah al-Fiqh al-Islami, (tp: Baitul Afkar al-Dauliyah, 2009), cet. 1, jilid 2, h. 305. Lihat juga, Sa’duddin Muhammad, al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah fi Dhau’ al-Islam, (Beirut: al-Maktab al-Islami, cet. I, tahun 2002), h. 119

[3] Abu Muhammad, Shalih bin Muhammad, al-Asmari dan al-Qahthani, Majmu’ah al-Fawaid al-Bahiyyah ‘ala Manzhumah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, (t.tp: Darus Shami’i, cet. I, tahun 2000), h. 75.

[4] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1991) cet. I, jilid 1, h. 259

[5] Sunan Tirmidzi, 1352,

[6] Sulaiman al-Asyqar, Al-Madkhal ila asy-Syariah wa al-Fiqh al-Islami, h. 41

[7] Abdurrahman as-Sa’di, Tafsir Kalam al-Mannan, (Riyadh: al-Muassasah as-Sa’diyyah, t.th.), jilid 1, h. 340

[8] Sulaiman bin Ahmad al-Mulhim, al-Qimar Haqiqatuhu wa Ahkamuhu (Riyadh: Dar Kunuz Isybilia, 1428 H), h. 155

[9] Nadratuzaaman Hosen, Analisis Bentuk Gharar dalam Transaksi Ekonomi, Al-Iqtishad: Vol. I, No. 1, Januari 2009, h. 59

[10] Abdurrahman as-Sa’di, Bahjah Qulub Al-Abrar wa Qurratu Uyuuni Al-Akhyaar Fi Syarhi Jawaami Al-Akhbaar, (t.tp: Dar Al-Jail, 1992) cet. II, h.164

[11] Ibnu Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, jilid III, h. 11

[12] Yusuf al-Qaradhawi, Bai’ al-Murabahah li al-Amir bi asy-Syira, hal. 26-27.

[13] Muhammad ‘Umaim al-Barkati, at-Ta’rifat al-Fiqhiyyah, hal. 145.

[14] Ali bin Muhammad al-Jurjani, at-Ta’rifat, hal. 146.

[15] Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah, 39.

[16] Al-Qarafi, al-Furuq, jil. 1, hal. 117.

[17] Ibnu al-‘Arabi, al-Mahshul fi Ushul al-Fiqh, hal. 125.

Leave a Reply