Sosok Al-Mawardi dan Realita Sosial Zaman
Al-Mawardi; Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Bashri, adalah seorang faqih, qadhi (hakim), pemikir politik, sekaligus politisi besar. Ia menggabungkan antara kefaqihan dalam agama yang mendalam, bersintesa dengan kepahaman akan realita yang sedang berkembang. Ia memiliki gagasan yang utuh tentang cita-cita politik Islam, namun tetap mencoba berdamai dengan realita empirik kaum Muslimin.
Datang dari keluarga yang dikenal sebagai pedagang minyak wangi (Maa’ Al-Ward/Air Mawar), ia hidup di paruh kedua abad 4 Hijriah (lahir 364H) dan paruh pertama abad 5 Hijriah (wafat 450 H), saat yang bersamaan dengan melemahnya Khilafah Abbasiyah sebagai Otoritas Resmi Penguasa Kaum Muslimin. Di antara faktor melemahnya adalah berbagai tarikan kekuatan dari wilayah-wilayah pinggiran kekuasaan yang mulai merangsek ke pusat kekuasaan, Baghdad. Sebagian kekuatan-kekuatan tersebut ada yang menyatakan disintegrasi dari Kekhalifahan dengan mengklaim teritorinya sendiri, dan sebagian lagi semakin memperkuat cengkeramannya ke pusat Baghdad.
Di antara kekuatan yang semakin memperkuat cengkramannya adalah kelompok Dinasti Bani Buwaih, yang berasal dari Persia dan berideologi Syiah. Mereka bergerak dari Timur kekhalifahan hingga kemudian secara perlahan mencoba merampas legitimasi public dari kekhilafahan Abbasiyah.
Perlahan tapi pasti Khilafah Abbasiyah tak berdaya dan semakin melemah. Bahkan penunjukan beberapa nama khalifah justru atas rekomendasi Bani Buwaih. Bani Buwaih berupaya melegitimasikan dirinya dengan nama gelar Imarah (Amir) atau Penguasa Wilayah.
Al-Mawardi terlibat langsung dalam pusaran peristiwa ini. Secara resmi ia terlibat menjadi Qadhi, kemudian Qadhi Al-Qudhah (Hakim Tertinggi) dalam pemerintahan Khilafah Abbasiyah. Ia menyertai era dua Khalifah Abbasiyah; yang pertama adalah Khalifah Al-Qadir Billah (wafat 422H), dan putranya Khalifah Al-Qaim Bi-Amrillah (wafat 467H).
Di era Khalifah Al-Qadir, ia mulai mendapat kepercayaan sebagai ahli hukum Islam yang dipercaya Khalifah. Ia diminta oleh Khalifah untuk menyusun fiqih ringkas dalam Mazhab Syafi’i, ia pun menulis Kitab Al-Iqna’ ringkasan dari kitab besar Al-Hawi Al-Kabir –yang disusunnya juga- sebuah rujukan utama dalam mazhab Syafi’i. Peran politiknya sebagai penengah perselisihan antara pusat Kekhilafahan dengan Penguasa Bani Buwaih terlihat saat ia diutus oleh Al-Qadir untuk meminta komitmen loyalitas salah satu penguasa Bani Buwaih (Abu Kalijar) terhadap Khilafah. Ia berhasil dalam tugas tersebut.
Setelah Khalifah Al-Qadir, wafat, bintangnya semakin bersinar. Ia mendapat kepercayaan dalam Khalifah Al-Qaim sebagai salah satu tokoh yang dapat berdiplomasi untuk mengkompromikan berbagai kepentingan, khususnya antara Khalifah dengan Bani Buwaih. Dalam peristiwa bersejarah di tahun 429 H, ia dengan tegas mengecam permintaan Jalal Ad-Daulah (Amir Buwaih) yang menyuruh Khalifah Al-Qaim untuk menggelari dirinya sebagai Malik Al-Muluk (Raja Diraja), di saat Khalifah sendiri bahkan tak mampu menolak permintaan tersebut, dan banyak para ulama yang tidak mampu untuk mengecam. Al-Mawardi dengan keras –meski ia dekat dengan Jalal Ad-Daulah- mengecam permintaan gelar tersebut, dan berfatwa keharamannya, karena gelar tersebut berarti menandingi gelar yang melekat pada Allah Ta’ala.
Sikap tegasnya ini menunjukkan bahwa meski mendapat kepercayaan dari penguasa, hal tersebut tidak berarti ia dapat dikendalikan oleh kekuasaan. Ia tetap dengan lantang menyuarakan apa yang diyakininya benar, selain tetap menjaga netralitas di tengah pusaran konflik yang multipolar.
Di tengah situasi tersebut, kematangan berpikir politiknya melahirkan Magnum Opus-nya dalam pemikiran politik Islam; Al-Ahkam As-Sulthaniyah (selanjutnya disebut Al-Ahkam). Sebagian peneliti percaya bahwa Al-Ahkam ditulis setelah ia mengalami berbagai pergulatan politik dan kekuasaan dalam kapasitasnya sebagai ‘alim (cendekiawan), faqih, dan politisi. ia menulis kitab tersebut sebagai salah satu karya terakhir yang ia tulis di akhir-akhir usianya setelah ia terlibat dalam kehidupan publik yang cukup panjang, dan secara khusus sebagai bentuk respon terhadap permintaan Khalifah Al-Qaim.
Kandungan Umum Al-Ahkam
Secara umum Al-Mawardi menyusun kitab ini dalam 20 Bab. Ke-20 Bab ini secara tematik dapat disimpulkan dalam dua tema besar;
1. Teori Kepemimpinan dalam Islam; yang terangkum dalam 3 tema awal kitab ini; Imamah (Kepemimpinan), Wizarah (Kementerian/Pembantu Pemimpin), dan Imarah (Kekuasaan Terbatas)
2. Panduan administratif pengelolaan negara, yang berisi antara lain; wewenang kepemimpinan jihad, kehakiman, pengelolaan shalat jama’ah dan haji, penegakan hukum pidana, pengelolaan zakat, fai’ dan ghanimah, hisbah dan lain-lain.
Al-Mawardi dengan kitabnya ini menjadi pelopor penyusunan panduan politik Islam yang mencakup berbagai aspeknya. Mulai dari teori dasar Imamah (kepemimpinan), hingga tawaran pengelolaan administrasi negara berdasarkan fiqih Islam. Umumnya, para ulama sebelum Al-Mawardi yang menulis tentang Imamah memfokuskan pembahasan pada aspek aqidah, sebagai respon terhadap kemunculan kelompok Syiah yang mencoba membangun ideologi berdasarkan teori Imamah yang mereka yakini.
Al-Mawardi dan Filosofi Jabatan Pemimpin
Ia mengawali paparannya tentang teori jabatan pemimpin (Imam/Khalifah) dengan menyebutkan nilai filosofis yang mendasari kemestian adanya Imam, ia menyebut bahwa kewajiban adanya Imam adalah dalam rangka untuk mewarisi tugas profetik (kenabian); memelihara agama (hirasatuddin) dan siyasah ad-dunya (mengatur urusan dunia). Di ungkapannya yang lain ia menyatakan bahwa Imamah adalah keniscayaan agar setiap kebijakan pengurusan publik bersumber dari agama, dan agar masyarakat yang notabene beragam pandangan dapat bersatu di bawah satu pendapat.
Ini berarti Al-Mawardi memandang jabatan kepemimpinan merupakan jabatan agama (manshib diiniy), sekaligus jabatan dunia (manshib duniawiy), ada unsur agama yang melekat secara inheren pada jabatan kepemimpinan, sekaligus ada pesan bahwa penegakan agama secara otomatis mesti membawa kemaslahatan dalam urusan publik. Agama dan Kekuasaan menjadi dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Memisahkannya dalam cara pandang kehidupan kaum Muslimin berarti mencerabut hal yang paling mendasar dalam kehidupan sehari-hari mereka. Inilah kenapa Al-Mawardi hampir dalam setiap deskripsinya tentang jabatan-jabatan public menyertakan syarat al-‘adalah (komitmen kuat pada agama).Relasi Publik dan Pemimpin dalam Al-Ahkam
Sebagaimana diketahui Al-Mawardi hidup dalam situasi kaum Muslimin yang tidak lagi ideal, khususnya dalam relasi antara publik dan pemimpin. Relasi ideal antara publik dengan pemimpin dalam sejarah kaum Muslimin tercerminkan dalam era Khilafah Rasyidah. Di saat itu hubungan antara kedua pihak setara, dan seimbang dalam pemenuhan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak. Pemimpin mencerminkan kehendak publik, ia dikontrol public, dan berupaya memenuhi hak publik secara adil, sebaliknya di saat yang sama publik memberikan ketaatan dan pembelaannya kepada pemimpin.
Di era Al-Mawardi, situasi relasi ini sudah jauh dari ideal, para pemimpin tidak lagi dipilih dan berasal dari publik, para pemimpin secara simbolik memang Khalifah, tapi secara factual legitimasi mereka lemah, selain karena tradisi dinasti yang sudah berlangsung sejak pertengahan abad pertama Hijriyyah, juga karena adanya penguasa-penguasa kecil yang muncul yang berupaya merebut legitimasi kekuasaan dari Khalifah.
Meski demikian Al-Mawardi tetap berupaya memelihara gagasan ideal tentang relasi ini dalam Al-Ahkam. Ia tetap menegaskan bahwa cara utama dalam pengangkatan pemimpin adalah melalui proses pemilihan (Al-Ikhtiar), yang dielaborasi oleh beliau melalui proses pemilihan oleh Ahlul Ikhtiar atau Ahlul Halli wal Aqdi yang merupakan perwakilan publik, selain itu –oleh Al-Mawardi- proses pengangkatan ini seringkali diistilahkan dengan ‘aqd (kontrak). Ini berarti Al-Mawardi menegaskan teori pengangkatan pemimpin haruslah berdasarkan AnNazhrah At-Ta’aqudiyyah (teori kontrak).
Istilah aqad (kontrak), berarti menegaskan adanya hubungan antara kedua belah pihak, dalam hal ini public dan pemimpin secara setara. Public memilih siapa yang paling layak untuk mendapatkan mandat dan kepercayaannya, dan dari sana pemimpin mendapatkan legitimasinya.
Jika dikaitkan dengan situasi sosial politik yang berkembang di era Al-Mawardi, penegasan beliau tentang teori kontrak boleh jadi dikemukakan dalam rangka untuk;
a. Menjaga gagasan ideal tentang apa yang seharusnya dalam relasi public dengan pemimpin dalam kehidupan Muslim. Sekaligus menegaskan bahwa apa yang sudah terjadi sejak beberapa abad sebelum Al-Mawardi berupa teori penaklukkan (taghallub) atau kekuasaan yang diraih dari perebutan yang menjadi karakter kekhilafahan baik Abbasiyah maupun sebelumnya Umayyah, bukanlah teori yang ideal. Dengan kata lain, seandainya kaum Muslimin memiliki kesempatan untuk mendapat keleluasaan bebas dari perebutan kekuasaan melalui penaklukkan, maka teori ideal ini lah yang semestinya berlaku, dengan adanya partisipasi publik terhadap pengangkatan pemimpin.
b. Membendung usaha Dinasti Buwaih yang notabene berideologi Syiah yang sedang berupaya untuk mencengkeramkan kekuasaannya di jantung Baghdad, serta menjatuhkan symbol Kekhilafahan yang menjadi symbol pelindung Sunni yang merupakan mayoritas kaum Muslimin. Sebagaimana diketahui ideolog Syiah tentang kepemimpinan berakar pada bahwa pemimpin (Imam) haruslah dari kalangan Ahlul Bait secara turun temurun. Perlawanan Al-Mawardi dilakukan secara intelektual dan membangun kesadaran umum tentang gagasan ideal siapa yang seharusnya menjadi pemimpin.
Relasi rakyat dengan pemimpin selain ditegaskan Al-Mawardi melalui Nazhrah Ta’aqudiyyah, juga digambarkan dalam pemaparannya tentang hak dan kewajiban pemimpin. Ia menyebutkan 10 kewajiban pemimpin, dan 2 hak pemimpin. Penyebutan kewajiban didahulukan sebelum penyebutan hak.
Jika dicermati lebih lanjut, pada dasarnya kewajiban pemimpin adalah hak-hak rakyat pada saat yang sama, dan secara tegas Al-Mawardi menyatakan, dalam hal pemimpin memenuhi kewajiban-kewajiban tersebut, maka ia berhak untuk dipenuhi haknya oleh rakyat; ketaatan dan pembelaan.
Hal ini mencerminkan adanya Al-Mu’adalah As-Siyasiyah (Hubungan Politik Secara Seimbang) dalam relasi antara public dengan pemimpin. Sebagaimana dalam pemenuhan hak dan kewajiban mesti dilakukan secara timbal balik. Ini seakan memberi pandangan pada kaum Muslimin bahwa relasi politik antara rakyat dengan pemerintah tidaklah sesederhana yang disimpulkan dalam “kewajiban taat” atau “dilarang kritik terbuka”, tanpa pernah atau jarang menyebut hak-hak public yang semestinya dipenuhi.
Asas-asas Masyarakat Ideal dalam Pandangan Al-Mawardi
Penulis ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengemukakakan pemikiran Al-Mawardi tentang masyarakat yang ideal dalam karyanya yang lain Adab Ad-Dunya wa Ad-Diin(Etika Dunia dan Agama). Tentu definisi ideal bukanlah berarti masyarakat tersebut suci atau tak memiliki kekurangan. Namun justru sebaliknya, Al-Mawardi mendasarkan gagasan ideal tentang masyarakat di atas konsep keterbatasan dan kelemahan manusia, yang karena itu memerlukan pemenuhan asas / fondasi yang menjadi faktor pengendali kehidupan masyarakat.
Asas-asas tersebut antara lain;
1. Agama yang diikuti (دين متبع) ;
2. Penguasa/pemimpin yang kuat (سلطان قاهر).
3. Keadilan yang merata (عدل شامل)
4. Rasa aman yang menyeluruh (أمن عام)
5. Tanah yang makmur (خصب دار) atau terpenuhnya kebutuhan ekonomi
6. Harapan positif tentang masa depan (أمل فسيح)
Penutup
Tentu saja pemaparan di atas tidaklah mewakili seluruh unsur pemikiran politik Al-Mawardi, namun semata upaya analisis terhadap beberapa tema penting yang di mana Al-Mawardi menekankan pembahasan pada tema-tema tersebut. Selain itu patut digarisbawahi bahwa upaya ijtihad Al-Mawardi merupakan hasil kompromi dan interaksi pemikiran ideal beliau tentang politik dan masyarakat Islam dengan realita yang ia hadapi di zamannya. Penekanan terhadap hal-hal ideal memberi pelajaran pada manusia di masa kini untuk berupaya mengambil inspirasi dari hal-hal yang sebenarnya bisa diterapkan di lintas zaman, apapun situasi politik dan sosial yang sedang berkembang. Interaksi dengan zaman yang sedang berlangsung yang dicontohkan oleh Al-Mawardi juga mengajarkan bahwa diperlukan kecerdasan para fuqaha dan ulama yang memahami agama dalam memberi panduan kepada masyarakat dalam berinteraksi dengan situasi.
Wallahu a’lam.Beberapa bacaan lanjutan:
1. Al-Ahkam As-Sulthaniyah wal Wilayah Ad-Diniyyah, Al-Mawardi
2. Al-Fikr As-Siyasi ‘inda Abil Hasan Al-Mawardi (Pemikiran Politik Al-Mawardi), Prof Dr Ahmad Mubarak Al-Baghdadi
3. Paparan pemerhati politik Riyadh Al-Musaibili dalam diskusi Asmaar wa Afkaar
https://www.youtube.com/watch?v=NcMpkGMIcRs
4. At-Tarikh Al-Islami vol 6, Mahmud Syakir